Beranda | Artikel
Seri Faidah Kitab Tauhid [8]
Rabu, 5 Oktober 2016

Bismillah.

Alhamdulillah pada kesempatan ini kita bisa berjumpa kembali dalam seri faidah Kitab Tauhid karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah.

Setelah membawakan ayat-ayat yang berisi tentang hakikat dan kedudukan tauhid, Syaikh rahimahullah membawakan sebuah hadits dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu’anhu. Beliau menuturkan : Dahulu saya pernah ikut bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membonceng di atas seekor keledai. Beliau berkata kepadaku, “Wahai Mu’adz, tahukah kamu apa itu hak Allah atas para hamba?” aku menjawab, “Allah dan rasul-Nya yang lebih mengetahui.” Beliau bersabda, “Hak Allah atas hamba adalah hendaknya mereka beribadah kepada-Nya dan tidak mempersekutukan dengan-Nya sesuatu apapun. Dan hak hamba kepada Allah yaitu Allah tidak akan menyiksa orang yang tidak mempersekutukan dengan-Nya sesuatu apapun.” Aku pun berkata, “Wahai Rasulullah, tidakkah sebaiknya aku sampaikan berita gembira ini kepada orang-orang?” beliau menjawab, “Jangan kamu sebarkan berita gembira ini kepada mereka, bisa jadi mereka justru menjadi bersandar/bermalas-malasan karenanya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadits yang agung ini memberikan pelajaran kepada kita bahwa hak Allah atas segenap hamba ialah mereka wajib beribadah kepada-Nya tanpa mempersekutukan dengan-Nya sesuatu apapun (lihat al-Jadid fi Syarhi Kitab at-Tauhid, hal. 33)

Hadits ini juga menunjukkan bahwasanya tauhid -yaitu beribadah kepada Allah dan meninggalkan syirik- merupakan kewajiban yang paling wajib atas setiap hamba sebagaimana diterangkan di dalam al-Kitab dan as-Sunnah bahkan di dalam ajaran semua rasul (lihat at-Tamhid, hal. 18)

Di dalam hadits ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan tambahan faidah ‘…dan tidak mempersekutukan dengan-Nya sesuatu apapun’ hal ini menunjukkan bahwasanya ibadah tidaklah disebut ibadah yang benar kecuali apabila bersih dari syirik. Apabila ia tercampuri syirik maka syirik itu membuat terhapusnya ibadah dan bahkan melenyapkan seluruh amalan. Apabila seorang yang beribadah juga melakukan syirik akbar maka semua ibadahnya menjadi sia-sia bagaikan debu yang beterbangan. Oleh sebab itulah seringkali -dalam ayat atau hadits- disebutkan perintah beribadah dengan disertai larangan dari berbuat syirik. Dan seperti inilah makna yang terkandung dalam kalimat tauhid laa ilaha illallah; di dalamnya terdapat nafi/penolakan ibadah kepada selain Allah dan itsbat/penetapan tauhid (lihat I’anatul Mustafid, 1/60)

Di dalam hadits ini, juga terkandung tafsir tauhid yaitu beribadah kepada Allah dan tidak mempersekutukan dengan-Nya sesuatu apapun. Hadits ini menunjukkan besarnya kewajiban dan keutamaan tauhid. Oleh sebab itu Mu’adz meminta ijin untuk menyampaikan berita gembira ini kepada manusia. Akan tetapi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarangnya karena khawatir orang-orang bersandar kepada hadits ini sehingga mempersedikit amal salih (lihat al-Mulakhkhash fi Syarhi Kitab at-Tauhid, hal. 22)

Hadits ini khawatir disalahpahami oleh orang-orang yang jahil dan beradab buruk dimana apabila mereka mendengar keutamaan yang disebutkan di dalam hadits ini mereka pun meninggalkan pengabdian dan amal ketaatan; disebabkan ketidakpahaman mereka tentangnya. Adapun orang-orang yang cerdas -ketika mendengar hadits-hadits semacam ini- mereka justru semakin menambah ketaatan karena tambahan nikmat seharusnya melahirkan tambahan ketaatan. Oleh sebab itu hadits ini tidak perlu disembunyikan dari mereka (lihat Fat-hul Majid, hal. 50)


Artikel asli: https://www.al-mubarok.com/seri-faidah-kitab-tauhid-8/